Menghidupkan Rasa Mati Dalam Jiwa - Rasa mati adalah perasaan kesadaran yang tinggi bahwa suatu hari kita akan terbujur kaku selama-lamanya di sebuah pusara yang tertulis di atasnya nama, tanggal lahir dan tanggal mati kita. Perasaan ini merupakan sebuah warna yang sudah lama pudar dalam jiwa mayoritas manusia.
Indikasi pupusnya rasa mati dalam diri manusia tercermin dalam kecintaannya yang keras terhadap harta dan kemewahan dunia yang diburunya siang malam.
Padahal ia tahu semua yang dicapainya pasti akan ditinggalkannya. Indikasi tersebut juga terjabarkan dalam kedahagaan yang mencambuk nafsunya sehingga beringas melanggar seluruh aturan Tuhan demi tercapainya hasrat dunia yang sementara. Atau pada keacuhan hatinya terhadap perintah-perintah Allah yang semakin menjauhkan dirinya dari kasih dan sayang Allah SWT. Setiap hari manusia berlari ke sana ke mari mengusung nafsunya dan tenggelam dalam kesibukan duniawi yang ‘berhasil’ menjadikannya lupa atau pura-pura lupa akan hakikat mati. Banyak sekali yang akhirnya malah benar-benar terkapar dalam keindahan semu dunia sehingga habislah keyakinannya terhadap hakikat mati. Kondisi seperti inilah yang Allah tegur dalam firmanNya berikut:
Terjemahan:”Katakan, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, justeru ia yang akan menemui kamu’. (Surah al-Jumu’ah 62: 8).
Manusia yang telah habis keyakinannya terhadap hakikat mati adalah manusia yang paling tidak punya nurani. Seluruh fakta tentang kematian yang lalu lalang di hadapannya setiap saat bagaikan angin lalu yang tidak memberi kesan apapun kepada dirinya. Ia acuh saja mendengar keluarga dekatnya, sahabatnya atau handai taulannya meninggal dunia. Bahkan menyaksikan pembantaian saudara-saudaranya sesama Muslim di kaca TV, masih bisa dilaluinya sambil menikmati semangkuk sup hangat tanpa merasa terganggu sedikitpun. Fenomena seperti ini mengingatkan kita pada hari Idul Adha, di mana kita menyaksikan seekor kerbau disembelih, dikuliti dan dipotong-potong dagingnya. Sementara kerbau lain di sebelahnya masih bisa menikmati setumpuk rumput hijau tanpa merasa terganggu sedikitpun. Padahal ia jelas-jelas akan disembelih pula pada keesokan harinya.
Beginikah Rasanya Mati?
Bayangkan sejambak rambut di kepala dicabut, atau selembar perban yang melekat di atas luka badan sejak seminggu dicabut. Tentulah sakit sekali rasanya. Lalu bagaimana pula gerangan jika nyawa yang sudah lekat di badan selama puluhan tahun dicabut? Kita tidak akan pernah dapat membayangkan kecuali dengan menyimak sumber berita yang berasal dari Nabi SAW dan para salafus soleh.
Dalam sebuah hadits marfu’ diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Na’im r.a. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
“Demi yang diriku berada di tanganNya, kenyataan (sakitnya) maut itu lebih dahsyat dari seribu bacokan pedang.”
Amru bin Ash ketika menghadapi sakaratul maut ditanya oleh anaknya tentang rasa sakit yang dialaminya. Beliau berkata dengan lemahnya,
“Demi Allah wahai anakku, keadaan tubuhku seakan-akan berada dalam selimut api yang panas membara dan seolah-olah aku bernafas melalui lubang jarum. Aku juga merasa seakan-akan nyawaku melekat pada satu pohon yang penuh duri, kemudian ditarik dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun.” Selanjutnya Amru bin Ash menangis seraya berkata,
“Kukejar dunia ini seakan-akan diriku kekal abadi. Sedangkan dibelakangku berlari sang maut menapaki langkahku.
Duhai, cukuplah kematian itu sebagai nasehat.”
Demikianlah kesaksian yang dinyatakan oleh sahabat Nabi SAW. Bagaimana pulakah gerangan pengalaman kita peribadi kelak, saya dan anda? Sebaiknya kepada Allah saja kita segera berlindung agar diberi kemudahan dan keringanan saat akhir menutup mata.
Menyiapkan Bekal Kembali
Sahabat Nabi SAW Utsman bin Affan begitu gentar sekali hatinya setiap kali melewati tanah pekuburan. Sering didapati ia menangis sebaik saja melewati sebuah pemakaman. Ketika ditanya oleh seseorang ia menjawab,
“Ketahuilah olehmu, bahwa kubur merupakan pintu gerbang penentuan apakah seseorang akan kekal selama-lamanya dalam kebahagiaan atau kekal selama-lamanya dalam kesengsaraan dan penderitaan.”
Kita sama-sama mengetahui dan menyadari bahwa akhirat merupakan negeri abadi. Abadi berarti kekal dan tidak ada akhir atau penghujungnya. Malangnya lagi kita juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa yang menentukan apakah kita akan senang dan bahagia, sengsara atau menderita dalam keabadian itu adalah rekor amal kita di dunia yang sebentar ini. Dalam arti lain, meskipun dunia ini akan bergulir seratus juta tahun lagipun, kesempatan kita untuk beramal hanya di sini,saat ini dan sekarang ini.
Sebagai ilustrasi, jika seseorang bekerja dengan sebuah perusahaan di Jakarta dan tiba-tiba diperintahkan oleh direkturnya untuk segera berangkat ke cabang Medan besok pagi untuk jangka waktu lima tahun. Kira-kira apa yang akan dilakukannya? Tentulah sedapat mungkin ia akan sibuk mempersiapkan diri dalam tenggat waktu yang amat singkat itu. Dalam 24 jam itu pasti ia akan mengepak barang-barangnya, mencari pinjaman uang ke sana kemari, pamitan dan mohon maaf ke seluruh keluarga dan kawan-kawannya dan lain-lain. Bahkan hampir dapat dipastikan malam itu ia tidak bisa tidur memikirkan keberangkatannya yang mendadak itu.
Ketahuilah bahwa waktu yang tersedia untuk kita mempersiapkan bekal perjalanan menuju akhirat lebih singkat dari ilustrasi di atas. Bahkan jangka waktu untuk kita menetap di sana adalah kekal abadi dan tidak terbatas. Yang dapat menyelamatkan kita hanyalah suatu kesadaran yang tinggi dan gerak amal yang konsisten bahwa setiap helaan nafas, ayunan langkah dan tangan selama di muka bumi kita niatkan benar-benar untuk beribadah kepada Allah. Kemudian kita sadari pula bahwa seluruh apa yang Allah perintahkan kita laksanakan dengan sekuat daya upaya kita. Manakala apa jua yang Allah tegah harus serta merta kita tinggalkan sama sekali.
Marilah kita sama-sama mencari cahaya Allah dengan berbuat sebanyak mungkin kebajikan di muka bumi, menebar kasih sayang, melakukan amal jariah, mempersiapkan anak-anak soleh yang dapat mendoakan kita saat terbaring di pusara dan menyumbangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi umat. Hanya setelah itu saja kita baru akan merasa sedikit siap untuk berangkat kembali ke kampung akhirat, dan agak berani menunggu kedatangan malaikat Izrail.
Rabbana wahai Tuhan kami.
Anugerahkan kami taubat sebelum maut,
kasih sayangMu saat menghadapi maut
dan ampunanMu seusai maut menjemput.
Amin..
Sumber : nurulyaqin
Penulis : Ust. Arsil Ibrahim MA
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar