Home
»
Agama Islam
» KIAI, PESANTREN DAN TRADISIONALISME ISLAM JAWA (Telaah Buku “Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai” Karya Zamakhsyari Dhofier)
KIAI, PESANTREN DAN TRADISIONALISME ISLAM - Buku yang menjadi objek telaah ini pada awalnya merupakan sebuah disertasi yang telah menghantarkan Zamakhsyari Dhofier meraih gelar doktoral dalam bidang Antropologi Sosial di Australian National University (A.N.U.), Camberra, pada tahun 1980. Disertasi yang mengupas tentang kehidupan Kiai tersebut disusun berdasarkan atas penelitiaan yang dilakukannya sejak bulan September 1977 sampai dengan bulan Agustus 1978 di dua pesantren, yakni Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Tegalsari Salatiga. Walaupun hasil penelitian –yang kemudian menjadi buku—tersebut sudah kurang relevan untuk saat ini –mengingat pesatnya akslerasi perkembangan dan kemajuan pesanten--, namun setidaknya, Zamakhsyari –melalui penelitiannya ini—telah berhasil menyingkap tirai gelap yang selama ini menyelimuti dunia pesantren –termasuk di dalamnya kehidupan Kiai, Santri dan segala elemen di dalamnya--, yang memiliki kecenderungan tertutup –atau menutup diri—dari lingkungan masyarakat luas.
Mengawali penelitiannya, Zamakhsyari mengemukakan bahwa sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan istilah Pondok. Zamakhsyari mengidentifikasikan bahwa Istilah tersebut berasal dari nama bangunan yang menjadi tempat tinggal murid yang sedang mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman, yang berbentuk bangunan semi permanen berbahan Bambu atau papan, di mana penamaan tersebut diadaptasi dari bahasa Arab (fundug), yang berarti hotel atau asrama. Selain istilah pondok, dikenal pula istilah pesantren, yang berasal dari kata dasar santri, yang ditambahi dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Sementara kata santri sendiri, menurut Zamakhsyari –dengan mengutip pendapat A.H. Johns dan C.C. Berg--, berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji atau dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang ahli dalam kitab-kitab suci Hindu.
Lebih lanjut Zamakhsyari menjelaskan bahwa eksistensi pesantren –khususnya di Jawa—di awali dengan adanya sebuah kesadaran dari kalangan terpelajar (baca ; Kiai dan golongan yang memiliki kemampuan mumpuni dalam bidang agama) bahwa masyarakat Muslim membutuhkan pendidikan agama, dalam menerjemahkan dan mengaplikasikan doktrin-doktrin agama. Kesadaran tersebut –kemudian—teraplikasikan dalam bentuk pengajian-pengajian rutin yang diberikan Kiai kepada Masyarakat sekitar. Lambat laun pengajian-pengajian tersebut berkembang menjadi sebuah institusi pendidikan keagamaan, yang eksistensinya didukung oleh dua hal yakni, adanya kesadaran Kiai untuk secara kontinu memberikan pendidikan kepada masyarakat –yang diyakini merupakan tanggung jawab dari Allah yang harus mereka jalankan—dan adanya kepatuhan masyarakat kepada sosok Kiai yang dianggap memiliki keistimewaan, dan karena keistimewaan itu mereka menganggap bahwa sosok Kiai memiliki derajat di atas mereka –dalam relasi ini tampak pola relasi feodalistik, yang pada dasarnya merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Jawa-- .
Seiring dengan kian kompleksnya dinamika masyarakat, maka lembaga pendidikan agama tersebut kemudian mulai merancang berbagai elemen, yang dipandang dapat menegaskan sekaligus mengukuhkan struktur dan kultur pesantren. Secara umum, elemen yang menjadi ciri sebuah pesantren terdiri dari lima hal yakni, pertama, terdapatnya pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal santri. Pada umumnya bangunan tempat tinggal santri ini terpisah dari lingkungan luar, dengan maksud agar Kiai mudah mengawasi Santri dan Santri dapat belajar dengan intensif, tanpa gangguan dari lingkungan sekitar. Pada masa dahulu, ada beberapa pesantren yang mengharuskan santri untuk membangun sendiri tempat tinggalnya. Namun pada masa sekarang, hampir seluruh pesantren telah menyediakan tempat tinggal bagi santrinya berupa bangunan permanen. Kedua, adanya masjid sebagai tempat Sholat, yang sekaligus berfungsi sebagai tempat di mana proses transformasi keilmuan dari Kiai kepada santri berlangsung. Ketiga, adanya santri sebagai pihak yang ingin belajar. Prototipe santri ini dibagi menjadi dua yakni santri yang menetap dipesantren dan santri yang tidak menetap, hanya datang untuk belajar dan pulang kembali ke rumah mereka tatkala pelajar usai. Prototipe santri yang terakhir ini juga dikelan dengan istilah santri Kalong atau santri nglaju. Keempat, adanya pengajaran kitab-kitab salaf –klasik-- dan yang kelima adanya kiai, yakni orang yang memberikan pengajaran. Adakalanya Kiai ini merupakan pendiri sekaligus pengasuh dari pesantren tersebut. Dalam proses belajar-mengajar, biasanya kiai dibantu oleh beberapa orang yang telah dipercayanya, yang sering dikenal dengan istilah ustadz.
Dari kelima elemen di atas, sosok Kiai merupakan elemen yang paling esensial sekaligus penentu dalam kehidupan sebuah pesantren, di mana kemajuan sebuah pesantren –yang biasanya diukur dari banyaknya santri—sangat ditentukan oleh integritas keilmuan –kealiman--sang kiai. Selain itu, sosok kiai diharuskan dapat menjadi suri tauladan bagi masyarakat, di mana masyarakat harus menghormati bahkan memuliakannya. Kenyataan inilah yang menempatkan sosok Kiai ke dalam komunitas ekslusiv dan elite dalam struktur masyarakat –khususnya masyarakat Jawa—, yang kehadirannya menjadi warna berpengaruh dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, budaya, politik, terlebih bidang agama.
Ekslusivitas komunitas kiai tersebut akan terus berlangsung dan tetap terjaga secara turun-temurun. Secara genealogis, setiap kiai di Jawa masih berada dalam lingkaran kekerabatan yang sangat kuat, baik secara langsung –keturunan-- atau pun tak langsung –karena sebab perkawinan atau relasi guru-murid--. Banyak kalangan yang menilai bahwa tali genealogis ini merupakan bukti ekslusivitas kehidupan kiai. Namun, jika dilihat dengan lebih obyektif, sebenarnya hal ini bukan semata-mata dikendalikan oleh tujuan primordial, melainkan ada beberapa alasan yakni pertama, para kiai ingin memiliki jaminan bahwa orang-orang yang kelak akan menggantikan posisi dan melanjutkan misinya telah teruji integritas dan kapabilitas keilmuannya. Untuk itu mereka bersikap sangat selektif, karena tidak mungkin bagi mereka memasukkan orang-orang yang belum teruji integritas dan kapabilitasnya ke dalam titik sentral pesantren yang mereka pimpin. Kedua, kuatnya dorongan teologis untuk memperoleh keturunan yang berkualitas. Ini tentu juga akan lebih mudah diketahui bila dilakukan perkawinan dengan sesama kerabat non-muhrim, ketimbang melakukan perkawinan dengan pihak luar yang belum mereka kenal. Ketiga, kaderisasi pendididikan akan lebih mudah dan intens dilakukan terhadap anak-cucu sendiri ketimbang terhadap santri umum. Itulah sebabnya beberapa anak kiai –dalam istilah jawa dikenal dengan istilah gus (laki-laki) dan neng (perempuan)-- yang dikirim ke pesantren tertentu memperoleh perhatian khusus dan keistimewaan tersendiri, demi tujuan kaderisasi tersebut. Semua hal tersebut berjalan secara terus-menerus dan turun-temurun sehingga pada akhirnya membentuk tradisi tersendiri, yang harus tetap dijaga dan dijalankan oleh kalangan pesantren.
Dalam perkembangannya, tradisi pesantren tersebut telah mengalami pergeseran-pergeseran yang dinamis sesuai perubahan zaman, sekalipun tidak dialami semua pesantren. Sinisme yang banyak muncul ialah bahwa tradisi salaf –yang cenderung doktriner dan anti kritik-- pesantren menjadi pemicu bagi kebekuan intelektualitas umat Islam. Hal ini mudah dimafhumi lantaran para kiai beserta pesantren-pesantrennya dalam menebarkan Islam di Jawa menggunakan tarekat sebagai strategi, di mana strategi tersebut dipilih karena Kiai memahami bahwa orang Jawa sangat lekat dengan watak kehidupan bernuansa mistis. Maka tarekat dipilih menjadi “pintu gerbang” untuk mengakrabkan Islam dengan orang-orang Jawa –yang merupakan masyarakat berwatak rural-agraris--.
Strategi inilah yang banyak dijadikan dasar oleh para pengkritik. Mereka mengemukakan beberapa hal yakni, Pertama, Praktek dzikir dan wirid dalam tarekat dianggap terlalu berlebihan sehingga melalaikan masyarakat dari kepentingan keduniawian, dan hanya memperhatian hal-hal yang bersifat ukhrawi. Padahal Islam juga sangat menuntut dinamisasi dan aktualisasi dalam konteks yang empiris. Kedua, banyak guru dan kiai tarekat yang dianggap mengamalkan hal-hal yang syirik, seperti mempercayai benda-benda – seperti azimat--. Ketiga, praktek dzikir melalui tawassul --murid tarekat sebelum dzikir terlebih dahulu mengingat gurunya-- dianggap sebagai keyakinan akan adanya perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan, yang notabene bertentangan dengan ajaran tauhid Islam.
Betulkah pandangan hidup kiai --dan pesantren-- memang lekat dengan nuansa kejumudan lantaran terlalu lekat dengan tarekat –tasawuf--? Zamakhsyari memang tidak menampik adanya “watak jumud” itu. Namun demikian, kejumudan tersebut bukanlah “kejumudan mati”, dalam pengertiannya yang sama-sekali tak bergerak. Kejumudan itu lebih tepat diterjemahkan dalam istilah continuity and change, di mana kiai sangat mempertahankan pentingnya kesinambungan tradisi keagamaan dalam rentangan sejarahnya yang sangat panjang di antara gerakan-gerakan dinamis kehidupan empiris itu sendiri. Artinya, masyarakat yang secara sosiologis niscaya selalu mengalami pergeseran dan perubahan selalu diperjuangkan untuk disinergikan dengan khazanah tradisi Islam klasik yang bersumber dari kitab-kitab salaf, yang notabene memiliki kesinambungan dengan intelektualitas generasi-generasi sebelumnya hingga sampai ke haribaan para sahabat dan Nabi. Namun, kalau di antara realitas sosiologis masyarakat tersebut terdapat kasus-kasus yang tidak tercover oleh khazanah tradisi klasik, maka di situlah diterapkan ijtihad untuk melahirkan suatu hukum baru, yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist sebagai doktrin pokok. Ini terlihat dari program bahstul masa’il yang diselenggarakan secara rutin untuk membahas berbagai problem kemasyarakatan kontemporer, yang di dalamnya bukan hanya melibatkan pengkajian dan pemahaman kembali terhadap kitab-kitab salaf, tetapi juga melibatkan ilmu-ilmu kontemporer. Para kiai, tegasnya, sangat meyakini bahwa keteguhan dan integritas Islam sama-sekali tidak mungkin berdiri dari masa kini an sich, tetapi harus memiliki mata rantai kesejarahan intelektualitas dan yurisprudensi dengan tradisi generasi-generasi sebelumnya.
Analisis Dari uraian Zamakhsyari di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sosok kiai dan pesantren –dengan segala tradisi dan warna-warni kehidupannya—bukanlah entitas yang jumud dan anti perubahan, mengingat mereka sangat kuat memelihara tradisi. Sebaliknya, Kiai dan pesantren merupakan entitas yang selalu berusaha selalu akomodatif dengan setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, sekaligus tetap menjaga tradisi demi kontinuitas kesejarahan kehidupan manusia. Hal ini nampak dari penegasan Zamakhsyari yang menyatakan bahwa kehidupan Kiai dan pesantren terbingkai dalam istilah continuity and change. Agaknya hal ini sesuai dengan pepatah Arab yang menyatakan “menjaga hal lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik. Penelitian Zamakhsyari ini berhasil menemukan adanya kesamaan pandangan hidup yang sangat mendasar dari semua kiai yakni selalu mengupayakan lestarinya tradisi di tengah-tengah arus perubahan. Walaupun penelitian ini hanya berdasar atas hal-hal yang bersifat kasuistis di pesantren Tebuireng –yang mewakili pesantren besar—dan pesantren Tegalsari –yang mewakili pesantren kecil--, namun setidaknya hal tersebut dapat dijadikan cerminan utuh kehidupan Kiai –dan pesantrennnya—di Jawa.
Penelitian Zamakhsyari ini juga berhasil menguak tabir yang menyelimuti kisah di balik suksesnya Islamisasi di Jawa. Selama ini yang ada dalam benak kaum kebanyakan adalah bahwa penyebaran Islam di Jawa dapat berhasil karena jasa para Walisongo yang mampu mensinergikan budaya Jawa dengan ajaran Islam –melalui pagelaran Wayang misalnya--. Dengan penelitian ini, terkuak data bahwa Islamisasi di Jawa dapat berhasil juga berkat strategi yang dijalankan oleh para Kiai –yang melanjutkan misi Walisongo—yang mampu menyelami watak dan pandangan masyarakat Jawa yang sangat lekat dengan tradisi mistis –yang merupakan peninggalan ajaran Hindu--. Strategi yang dimaksud adalah tarekat yang dijadikan gerbang oleh para Kiai, untuk memasukkan ajaran Islam dalam Masyarakat.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dalam penelitian ini Zamakhsyari mengambil objek pesantren Tebu Ireng dan Tegalsari, di mana keduanya merupakan pondok yang sejenis yakni sama-sama merupakan pondok yang menerapkan sistem pendidikan non-modern, ketika penelitian ini dilakukan. Namun demikian, dari data yang dijumpai di kedua objek tersebut, Zamakhsyari mengambil kongklusi bahwa keduanya merupakan cerminan wajah kehidupan Kiai dan pesantren di Jawa, yang lekat dengan upaya mempertahankan tradisi. Yang menjadi pertanyaan adalah ; apakah sample yang diambil oleh Zamakhsyari tersebut sudah layak untuk dijadian sebagai parameter ? penelitian lainlah yang akan menjawabnya.
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar