lmu Jawa/Spiritual Bukanlah Agama - Salam Rahayu, Assalamualaikum....
Mohon ijin kepada moderator Forum Spiritual dan para sesepuh untuk memuat lmu Jawa/Spiritual Bukanlah Agama tetapi saling melengkapi.
Threat ini untuk meluruskan kekurang fahaman banyak orang akan penghayat lmu Jawa/Spiritual yang sering di salah artikan, padahal penghayat kebatinan/spiritual jawa dan agama sejatinya saling melengkapi dalam kehidupan di masyarakat.
Threat ini bukan forum debat, meninggikan atau merendahkan satu dengan lainnya, apalagi menyerang keyakinan seseorang, diharapkan terjadi dialog-dialog yang saling mengisi dan melengkapi dengan dilandasi azas toleransi dan sikap saling menghormati.
Terimakasih, Rahayu.
Penghayat lmu Jawa/Spiritual bukan Agama tetapi saling melengkapi
Kebatinan/Spiritual Jawa (Kejawen) pada dasarnya adalah sebuah kepercayaan ketuhanan, bukan agama, dan kepercayaan ketuhanan kejawen itu tidak membutuhkan kitab suci, karena pendekatan mereka kepada Tuhan dilakukan secara langsung dan pribadi, dengan rasa, dengan batin.
Dan pengertian umum Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konsep kejawen adalah hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung dan pribadi, melalui olah rasa dan batin manusia berusaha mengenal Tuhan secara langsung dan menyatu denganNya.
Ketuhanan kejawen itu tidak mendasarkan diri pada ajaran sebuah kitab suci dan tidak melalui nabi-nabi seperti halnya agama modern, tetapi dengan rasa dan batin mereka berusaha mendekatkan diri dan berusaha secara langsung mengenal Tuhan. Itulah yang disebut agama Kaweruh.
Dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan antara agama modern dengan ketuhanan kejawen. Penganut agama modern menggunakan ajaran-ajaran dalam kitab sucinya sebagai sumber pengetahuan mereka tentang Tuhan dan menjadi acuan peribadatan mereka.
Semua keharusan dan larangan di dalam kitab suci harus dipatuhi, menjadi dasar peribadatan yang tidak boleh dilanggar. Pengenalan dan pengetahuan mereka tentang Tuhan umumnya hanyalah sebatas apa yang sudah tertulis dan diajarkan dalam kitab suci dan agama mereka saja, tidak lebih, dan tidak boleh lebih, apalagi menyimpang dari itu, yang kemudian malah banyak memunculkan pencitraan, dogma dan doktrin dan pengkultusan tentang Tuhan, tentang pahala dan dosa, surga dan neraka, sehingga menjadi umum bahwa kemudian mereka akan meninggikan agama dan kitab suci mereka, bahkan mempertuhankannya, lebih daripada mereka mempertuhankan Tuhan.
Sedangkan penganut ketuhanan kejawen berusaha mengenal Tuhan secara langsung dan menyelaraskan kehidupan mereka sesuai penghayatan ketuhanan mereka masing-masing untuk mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawula Lan Gusti.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Budha, Islam, atau Kristen. Perilaku ini dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang mereka terhadap perkembangan jaman. Prinsipnya, yang baik diambil, yang jelek dibuang.
Penerimaan Jawa terhadap nilai-nilai yang datang dari luar diposisikan sebagai ‘baju’, isinya tetap Jawa. Agama yang dianut bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Maka selalu saja ada perbedaan yang signifikan antara Hindu Jawa dan Budha Jawa dengan yang asli di India, dan Islam Jawa dengan yang asli Arab.
Budaya kebatinan Jawa, pada prakteknya, selain berisi ajaran-ajaran budi pekerti dan ketuhanan, juga diwarnai dengan ritual-ritual kepercayaan dan ritual-ritual yang berbau mistik, yang merupakan produk-produk asli kebudayaan Jawa, yang merupakan bagian dari budaya kepercayaan Jawa, seperti keris, wayang, tari-tarian, pencak silat dan musik pengiringnya, aliran kebatinan, merawat sedulur papat, ritual selametan, tahlilan, ruwatan, sedekah bumi, sekatenan - arak pusaka, dsb, walaupun sekarang sudah diisi dengan keagamaan Islam sesuai agama yang sudah dianut.
Kejawen atau Kejawaan (ke-jawi-an) dalam pandangan umum berisi kesenian, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi tradisional orang-orang Jawa. Kejawen juga mencerminkan spiritualitas orang Jawa.
Penganut ajaran kejawen tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian formal seperti agama monoteistik seperti Islam dan Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku dalam upaya mendekatkan diri dan menyelaraskan hidup mereka dengan Tuhan, menjalankan “laku” untuk pencerahan cipta, budi, rasa dan karsa. Ajaran kejawen tidak terpaku pada aturan yang formal seperti dalam agama, tetapi menekankan pada konsep “keselamatan dan keberkahan hidup”.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti 'memuliakan' pusaka beserta sesajinya, pertunjukan wayang, pembacaan doa, penggunaan bunga-bunga tertentu sebagai sesaji, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan mistik.
Kejawen adalah kearifan lokal jawa yang mengarahkan kesadaran pada kesejatian diri masing-masing manusia, pengenalan diri pada kehidupan, dan menghidupkan kesejatian yang ada dalam diri manusia. Kejawen adalah budaya kebatinan dan spiritualitas berkenaan dengan keTuhanan dan budi pekerti.
Agama yang dianut bisa apa saja menurut keyakinan masing-masing, tetapi budi pekerti selayaknya menjadi acuan perilaku orang jawa, jangan ditinggalkan. Jangan sampai orangnya beragama dan agamis, tapi perilakunya tidak berbudi pekerti, jauh dari perilaku mulia, apalagi berpribadi mulia. Jangan menjadi orang jawa yang hilang jawa-nya.
Secara kebatinan dan spiritual, mereka percaya bahwa kehidupan manusia di alam ini hanyalah sementara saja yang pada akhirnya nantinya akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila hanya sendiri dan dengan kekuatannya sendiri, adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana.
Karena itulah manusia harus menyelaraskan diri dengan kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi (roh-roh dan Tuhan), beradaptasi dengan lingkungan alam yang merupakan rahmat dari Tuhan dan memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Kepercayaan kepada alam, roh-roh dan Tuhan ini seringkali dikonotasikan sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme, yang kontras dengan ajaran agama.
Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang mereka miliki akan mereka syukuri sebagai karunia Allah. Mereka percaya adanya 'berkah' dari roh-roh, alam dan Tuhan, dan mereka percaya bahwa kehidupan mereka akan lebih baik bila mereka 'keberkahan'.
Karena itu dalam budaya Jawa dikenal adanya upaya untuk selalu menjaga perilaku, kebersihan hati dan batin dan laku-laku prihatin dan tirakat dan berbagai ritual untuk menjaga supaya hidup mereka selalu diberkahi, seperti ritual Puasa Mutih, Puasa Senin-Kamis, Puasa Wetonan, ritual Sedekah Bumi, Selametan, Syukuran, Ruwatan, ziarah ke makam keluarga dan leluhur, "memuliakan" pusaka yang dimiliki, memberi sesaji kepada roh-roh tertentu di sekitar rumah tinggal, dsb, yang terkesan pada masa sekarang sebagai perilaku mistik dan klenik.
Berbagai perbedaan inilah yang menyebabkan kaum putihan mencela kaum abangan sebagai penganut kepercayaan yang sesat, penuh mitos dan mistik, dan politheis. Tetapi di sisi lain, pihak putihan juga tidak konsisten dengan kemurnian agama mereka, karena mereka juga ikut meramaikan ritual-ritual pihak abangan, seperti acara Garebek Maulud dan Sekatenan, Kirab Pusaka, Selametan, Syukuran, Sedekah Bumi, ziarah kubur, dsb. Sebagian dari mereka juga menjalani kebatinan, keilmuan gaib dan laku prihatin, yang kemudian diajarkan dan diadaptasikan menyatu menjadi ajaran budaya Islam, yang aslinya tidak ada dalam budaya Islam Arab.
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar